5 Resep Minuman Segar dan Unik Untuk Sajian Berbuka Puasa
Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau lebih dikenal dengan sapaan “Cak Nur” adalah anak H. Abdul Madjid yang lahir 17 Maret 1939. Semasa kecil, ia telah mengenal dua model pendidikan. Pertama, pendidikan dengan pola madrasah. Kedua, yakni pendidikan umum. Pendidikan dengan pola madrasah adalah pendidikan yang sarat akan penggunaan kitab-kitab kuning atau klasik sebagai bahan rujukannya. Sementara itu, pendidikan kedua yang diterima oleh Nurcholis Madjid adalah pendidikan umum secara memadai ditambah dengan metode pengajaran yang lebih modern. [1]
Berkaitan dengan dua model pendidikan di atas, Nurcholis Madjid
menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat Mojoanyar dan Bareng. Selain
itu, ia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-Wathaniyah yang dikelola oleh
orang tuanya sendiri di Mojoanyar, Jombang. Pada masa pendidikan dasarnya ini,
Nurcholis Madjid sudah menampakkan kecerdasannya. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya penghargaan dan prestasi yang ia terima saat itu. Kemudian, setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya pada usia 14 tahun, Nurcholis Madjid
melanjutkan pendidikannya di pesantren Darul ‘Ulum Rejoso Jombang. Namun, di
pesantren ini Nurcholis hanya mampu bertahan sekitar 2 tahun lamanya.[2] Penyebab
ia berlaku demikian diyakini karena alasan kesehatan dan ideologi politik pada
saat itu. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di pesantren modernis di KMI
(Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor,
Ponorogo, pada tahun 1995. Di tempat inilah Nurcholish Madjid menimba berbagai
keahlian dasar-dasar agama Islam juga menerima pembelajaran intensif bahasa
Arab dan bahasa Inggris.[3]
Karena kecerdasannya di Gontor, pada tahun 1960, pimpinan
pesantren, KH. Zarkasyi, bermaksud mengirim santrinya tersebut ke Univesitas di
Kairo Mesir, ketika ia telah menamatkan belajarnya. Namun, karena ada beberapa
kendala, akhirnya KH. Zarkasyi mengirim surat ke Institut Agama Islam Negeri
(IAIN sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan meminta agar Nurcholish
Madjid dapat diterima dan menempuh pendidikan di lembaga pendidikan tinggi
Islam tersebut. Karena kepatuhannya pada sang Kiai, maka setelah diterima,
Nurcholish Madjid meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan pendidikan di IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kemudian selama menempuh pendidikan di Jakarta,
Nurcholish Madjid sempat bergaul dengan Buya Hamka. Pergaulan yang cukup lama
ini secara tidak langsung telah membawa dampak pada perkembangan pemikiran dan
wawasan Nurcholis Madjid. Keduanya saling bertukar pikiran dan diskusi bersama
sehingga membuat Nurcholish Madjid menjadi lebih akrab dengan permasalahan umat
Islam Indonesia saat itu. [4]
Pada tahun 1968, Nurcholish Madjid meyelesaikan sarjananya (Drs.),
dengan mengambil skripsi berjudul al-Qur’an: ‘Arabiyyun Lughatan wa ‘Alamiyyun
Ma’nan. Setelah tamat dari IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid sempat mengajar di
sana beberapa tahun lamanya. Hingga dalam perkembangannya, pada Maret 1978,
Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya di Universitas Chicago, Amerika
Serikat. Di sinilah ia mendalami ilmu-ilmu politik dan filsafat Islam. Di
tempat ini pula, Nurcholish dikenal telah menjadi murid seorang ilmuan muslim
ternama neomodernisme dari Pakistan Bernama Fazlur Rahman. Pada tahun 1984,
Nurcholish Madjid mendapatkan gelarnya, yakni Ph.D dengan nilai cumlaude dalam
bidang Filsafat Islam (Islamic Thought) dengan disertasi mengenai filsafat dan
kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah, yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam
and Falsafah: A Problem of Reason and Relevation in Islam.[5]
Terlepas dari itu, Nurcholish Madjid sejak menjadi mahasiswa telah
aktif menulis tentang kajian keislaman maupun politik, hingga membuatnya diberi
gelar “Natsir Muda”. Selain itu ia juga dikenal dengan kepiawannya dalam
berorganisasi. Pengaruh sosiologis dan ideiologis KMI Gontor, tempat ia
mengenyam pendidikan saat masih remaja menjadi alasan kepiawannya. Terbukti,
selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah biasa dengan dinamika keilmuan,
aktivitas keorganisasian hingga ia pun sangat berwujud sebagai mediator
kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama berkiprah
di dunia kampus. Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih
sebagai ketua umum PBHMI selama dua tahun berturut-turut yakni periode 1966
hingga 1969 dan periode 1969 hingga 1971. Berkat kepiawannya ini, selama di
Amerika, Nurcholish Madjid pun dipercaya untuk menjadi presiden persatuan
mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada tahun 1967-1969 dan dipercaya untuk
menjabat sebagai wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of
Student Organization) pada tahun 1967-1971.
Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid telah berhasil
menduduki posisi-posisi sentral. Diantaranya seperti menjadi staf pengajar di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1972-1974, menjadi pemimpin umum majalah
mimbar Jakarta tahun 1971-1974, dan menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Lebih
lanjut, bersama dengan teman-temannya, Nurcholish juga mendirikan dan memimpin
LSIK (Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan) pada tahun 1972-1976 dan LKIS
(Lembaga Kebijakan Islam Samanhudi) pada tahun 1974-1977. Nurcholish juga
bekerja di LEKNAS LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial) di Jakarta tahun
1978-1984, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Jakarta. Lebih
jauh dari itu, pada tahun 1986, Nurcholish mendirikan dan menjadi ketua Yayasan
Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian keislaman dan menjadi penulis
tetap harian pelita, Jakarta pada tahun 1988. Nurcholish Madjid juga pernah menjabat
sebagai anggota MPR RI pada Agustus 1991, menjadi dosen tamu di Institut of
Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal, Canada. Hingga sejak tahun 1988,
Nurcholish telah dikukuhkan sebagai guru besar dalam ilmu filsafat Islam
sekaligus rector Paramadina Mulya, Jakarta. Kemudian pada tahun 1991, Nurcholis
diangkat menjadi ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia
(ICMI) dan menjadi satu anggota Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM).[6]
[1] Yusnaini,
“Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernitas Islam”, Skripsi, Medan:
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017, 34-35.
[2] Zaen
Musyrifin, “Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam”, Jurnal
Madaniyah, Vol. 2. Edisi XI, Agustus 2016, 318-319.
[3] Furkon
Saefudin, “Modernitas Pendidikan Pesantren Perspektif Nurcholis Madjid, Skripsi,
Makassar: UIN Alauddin, 2016, 13.
[4] Ibid, 15-16.
[5] Zaen
Musyrifin, “Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam”, Jurnal
Madaniyah, … 320.
[6] Furkon
Saefudin, “Modernitas Pendidikan Pesantren Perspektif Nurcholis Madjid, Skripsi,
… 18-19.
Komentar
Posting Komentar