5 Resep Minuman Segar dan Unik Untuk Sajian Berbuka Puasa

Gambar
Bulan Ramadhan menjadi  momen yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam untuk memperbanyak ibadah .  Adanya kewajiban menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, menjadikan puasa sebagai salah satu aktivitas penting seorang muslim selama Ramadhan nanti. Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan kegiatan lain yang dapat membatalkan puasa dimulai ketika matahari terbit di waktu fajar hingga matahari terbenam.  Menahan  lapar dan dahaga  saat berpuasa  seharusnya tidak lagi menjadi kendala bagi  umat Islam .  Agar tidak bosan menunggu waktu berbuka, coba l akukan aktivitas yang bermanfaat  ketika sedang b erpuasa. M enyiapkan sajian berbuka puasa, misalnya. Ya, meski tidur  dalam keadaan sedang ber puasa itu ibadah,  namun  jangan dijadikannya sebagai   alasan  u ntuk bermalas-malasan . Terlalu banyak tidur justru  tidak baik bagi kesehatan. Untuk itu, luangkanlah waktu me...

Geneologi Pendidikan Nurcholish Madjid. Alumni Pondok Darul Ulum dan Gontor?

Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau lebih dikenal dengan sapaan “Cak Nur” adalah anak H. Abdul Madjid yang lahir 17 Maret 1939. Semasa kecil, ia telah mengenal dua model pendidikan. Pertama, pendidikan dengan pola madrasah. Kedua, yakni pendidikan umum. Pendidikan dengan pola madrasah adalah pendidikan yang sarat akan penggunaan kitab-kitab kuning atau klasik sebagai bahan rujukannya. Sementara itu, pendidikan kedua yang diterima oleh Nurcholis Madjid adalah pendidikan umum secara memadai ditambah dengan metode pengajaran yang lebih modern. [1]

Berkaitan dengan dua model pendidikan di atas, Nurcholis Madjid menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat Mojoanyar dan Bareng. Selain itu, ia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri di Mojoanyar, Jombang. Pada masa pendidikan dasarnya ini, Nurcholis Madjid sudah menampakkan kecerdasannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penghargaan dan prestasi yang ia terima saat itu. Kemudian, setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada usia 14 tahun, Nurcholis Madjid melanjutkan pendidikannya di pesantren Darul ‘Ulum Rejoso Jombang. Namun, di pesantren ini Nurcholis hanya mampu bertahan sekitar 2 tahun lamanya.[2] Penyebab ia berlaku demikian diyakini karena alasan kesehatan dan ideologi politik pada saat itu. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di pesantren modernis di KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo, pada tahun 1995. Di tempat inilah Nurcholish Madjid menimba berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam juga menerima pembelajaran intensif bahasa Arab dan bahasa Inggris.[3]

Karena kecerdasannya di Gontor, pada tahun 1960, pimpinan pesantren, KH. Zarkasyi, bermaksud mengirim santrinya tersebut ke Univesitas di Kairo Mesir, ketika ia telah menamatkan belajarnya. Namun, karena ada beberapa kendala, akhirnya KH. Zarkasyi mengirim surat ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan meminta agar Nurcholish Madjid dapat diterima dan menempuh pendidikan di lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut. Karena kepatuhannya pada sang Kiai, maka setelah diterima, Nurcholish Madjid meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan pendidikan di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kemudian selama menempuh pendidikan di Jakarta, Nurcholish Madjid sempat bergaul dengan Buya Hamka. Pergaulan yang cukup lama ini secara tidak langsung telah membawa dampak pada perkembangan pemikiran dan wawasan Nurcholis Madjid. Keduanya saling bertukar pikiran dan diskusi bersama sehingga membuat Nurcholish Madjid menjadi lebih akrab dengan permasalahan umat Islam Indonesia saat itu. [4]

Pada tahun 1968, Nurcholish Madjid meyelesaikan sarjananya (Drs.), dengan mengambil skripsi berjudul al-Qur’an: ‘Arabiyyun Lughatan wa ‘Alamiyyun Ma’nan. Setelah tamat dari IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid sempat mengajar di sana beberapa tahun lamanya. Hingga dalam perkembangannya, pada Maret 1978, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Di sinilah ia mendalami ilmu-ilmu politik dan filsafat Islam. Di tempat ini pula, Nurcholish dikenal telah menjadi murid seorang ilmuan muslim ternama neomodernisme dari Pakistan Bernama Fazlur Rahman. Pada tahun 1984, Nurcholish Madjid mendapatkan gelarnya, yakni Ph.D dengan nilai cumlaude dalam bidang Filsafat Islam (Islamic Thought) dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah, yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Relevation in Islam.[5]

Terlepas dari itu, Nurcholish Madjid sejak menjadi mahasiswa telah aktif menulis tentang kajian keislaman maupun politik, hingga membuatnya diberi gelar “Natsir Muda”. Selain itu ia juga dikenal dengan kepiawannya dalam berorganisasi. Pengaruh sosiologis dan ideiologis KMI Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan saat masih remaja menjadi alasan kepiawannya. Terbukti, selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah biasa dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian hingga ia pun sangat berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih sebagai ketua umum PBHMI selama dua tahun berturut-turut yakni periode 1966 hingga 1969 dan periode 1969 hingga 1971. Berkat kepiawannya ini, selama di Amerika, Nurcholish Madjid pun dipercaya untuk menjadi presiden persatuan mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) pada tahun 1967-1969 dan dipercaya untuk menjabat sebagai wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization) pada tahun 1967-1971.

Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid telah berhasil menduduki posisi-posisi sentral. Diantaranya seperti menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1972-1974, menjadi pemimpin umum majalah mimbar Jakarta tahun 1971-1974, dan menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Lebih lanjut, bersama dengan teman-temannya, Nurcholish juga mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan) pada tahun 1972-1976 dan LKIS (Lembaga Kebijakan Islam Samanhudi) pada tahun 1974-1977. Nurcholish juga bekerja di LEKNAS LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial) di Jakarta tahun 1978-1984, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Jakarta. Lebih jauh dari itu, pada tahun 1986, Nurcholish mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian keislaman dan menjadi penulis tetap harian pelita, Jakarta pada tahun 1988. Nurcholish Madjid juga pernah menjabat sebagai anggota MPR RI pada Agustus 1991, menjadi dosen tamu di Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal, Canada. Hingga sejak tahun 1988, Nurcholish telah dikukuhkan sebagai guru besar dalam ilmu filsafat Islam sekaligus rector Paramadina Mulya, Jakarta. Kemudian pada tahun 1991, Nurcholis diangkat menjadi ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan menjadi satu anggota Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).[6]

 



[1] Yusnaini, “Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernitas Islam”, Skripsi, Medan: Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017, 34-35.

[2] Zaen Musyrifin, “Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam”, Jurnal Madaniyah, Vol. 2. Edisi XI, Agustus 2016, 318-319.

[3] Furkon Saefudin, “Modernitas Pendidikan Pesantren Perspektif Nurcholis Madjid, Skripsi, Makassar: UIN Alauddin, 2016, 13.

[4] Ibid, 15-16.

[5] Zaen Musyrifin, “Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam”, Jurnal Madaniyah, … 320.

[6] Furkon Saefudin, “Modernitas Pendidikan Pesantren Perspektif Nurcholis Madjid, Skripsi, … 18-19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Studi Sejarah; Dari Mulai Boom Beach Tuban Hingga Masjid Terkenal di Jawa Timur