5 Resep Minuman Segar dan Unik Untuk Sajian Berbuka Puasa
Sejarah
sebagai ilmu hidup di tengah dunia realitas, pekerjaannya ialah
merekonstruksikan realitas itu. Sastra sebagai seni hidup dalam dunia
imajinasi, pekerjaannya ialah mengekpresikan imajinasi. Sejarah dan sastra
adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari struktur dan
substansinya sebagaimana dikatakan oleh Thomas Clark Pollock dalam The
Nature of Literature, Its Relation to Science: Language in Human Experience;
karena sejarah adalah referential symbolism, sedangkan sastra evocative
symbolism. Sejarah merujuk pada sesuatu di luar dirinya atau referensi,
sedangkan sastra merujuk pada dirinya sendiri atau ekspresi.
Mitis
Menurut
Cassirer kesadaran mitis adalah sebuah synthetic unity, dan merupakan hasil
dari bekerjanya intuisi atau pikiran murni. Berbagai kesan inderawi
disintesiskan dalam satu entitas spiritual melalui objektivisasi. Adapun fungsi
mitos dalam masyarakat kuno menurut Mircea Eliade beberapa diantaranya ialah
melukiskan sejarah dari perilaku-perilaku supranatural dan sejarah dianggap
mutlak benar dan bersifat keramat. Dalam hal ini penulis memberikan penjelasan
bahwa mitos sering ditujukan sebagai alat pembenar tertib sosial, pengarang
mitos bisa saja memiliki maksud politik untuk memperkuat kedudukan patron.
Kendati demikian, hanya kerajaan-kerajaan besar seperti Melayu dan Mataram-lah
yang dikenal dengan tradisi sastra tulis menciptakan mitos-mitos politik untuk
memberikan legitimasi atas hegemoni politiknya. Sebaliknya, fungsi mitos,
sejarah, dan sastra dalam masyarakat kesukuan tidaklah bersifat sakral
melainkan profane semata. Ketiganya hanyalah refleksi kultural, hiburan, dan
sejarah. Hingga dalam perkembangannya, munculnya historiografi modern yang ditandai
dengan terbitnya buku Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschowing van de
Sadjarah van Banten pada tahun 1913 menandakan bahwa kesadaran mitis (dan
historiografi tradisional) pun berakhir.
Perbedaan Struktur
Konstruksi
Evidensi dan Strukturasi Kemungkinan; sejarah dan sastra adalah gejala
pengalaman kemanusiaan. Dalam merekonstruksi sejarah, interpretasi dan
eksplanasi sejarah diharuskan ada supaya sejarah tidak hanyak sekadar narasi,
melainkan benar-benar sebuah konstruksi evidensi. Sedangkan sastra yang
merupakan strukturasi dari kemungkinan, kemudian oleh sastrawan ditambahkan
dengan tema, karakter, konflik, dan resolusi konflik itu sendiri. Maka dari
itu, dalam sejarah pengalaman itu sepenuhnya kenyataan konkret sementara dalam
sastra pengalaman itu sebagian besar berupa kemungkinan-kemungkinan.
Informasi
dan Ekspresi; penulis memberikan penjelasan terhadap sebuah realitas, yang mana
pada mulanya realitas itu berserakan dan tidak teratur. Kemudian dikarenakan
orang memerlukan informasi utuh mengenai realitas agar mudah dipahami, maka
ilmu pun hadir untuk memberi tatanan realitas sesuai dengan perspektifnya.
Dalam hal ini, sejarah adalah ilmu sementara sastra adalah ekspresi.
Fakta dan
Imajinasi; dalam sejarah fakta memiliki kedudukan yang penting, namun seorang
sejarawan tidak boleh menganggap sebuah fakta sebagai unggulan sejarah. Dalam
hal ini penulis mengutip buku karya M. Stanford yang mana dijelaskan bahwa
terdapat sembilan cara yang harus dilalui supaya fakta menjadi sebuah tulisan
sejarah. Namun setidaknya ada dua cara yakni interpretative (menulis
sejarah bukan “apa yang terjadi” tapi “apa yang mungkin terjadi”) dan empathetic
(menulis sejarah dengan rasa empati). Sementara sastra adalah imajinasi kreatif
pengarangnya tentang suatu realitas, dan bukan realitas yang aktual.
Menjelaskan
dan Mengadili; tugas sejarah adalah memberi penjelasan bukan mengadili. Seorang
sejarawan tidak boleh berpihak, melainkan harus membiarkan gejala sejarah
“bicara” sendiri. Dalam hal ini terdapat dua aliran tentang penjelasan sejarah,
yakni positivisme (menerangkan) dan hermeneutik (memahami dan
mengerti). Sementara sastra memang lahir untuk suatu nilai, kesadaran, dan
kebenaran. Sastra sebagai “constructed language” harus mengadili
gejala-gejala sejarah yang merusak kemanusiaan dan eksistensinya dan tidak
dapat di selesaikan oleh ilmu.
Perbedaan Substansi
Objektifikasi
dan Subjektifikasi; sejarah memahami manusia melalui perenungan abstrak atau
imajinasi. Sejarawan bekerja dengan fakta-fakta objektif yang “given”
dan berada diluar dirinya. Manusia melakukan objektifikasi dirinya ke dalam
sejarah, dan sejarawan mempelajari gejala-gejala objektif tersebut. Sedangkan sastra tidak berhubungan dengan
fakta-fakta objektif yang berada di luar dirinya, tetapi dengan nilai-nilai
subjektif yang ada dalam dirinya. Seorang sastrawan memberi makna subjektif pada
kehidupan, dan manusia mempunyai sarana untuk merenungkan hidupnya.
Kesadaran
Perubahan dan Kesadaran Keabadian; perubahan sosial-budaya yang kita inginkan
ialah penyebaran rasionalitas. Meminjam konsep Max Weber, penulis menjelaskan
bahwa masyarakat tradisional dan karismatis akan digantikan oleh masyarakat
legal-rasional. Artinya, kita memerlukan perubahan. Perubahan adalah sebuah
proses dan sejarah adalah tempat baik untuk belajar perubahan tersebut.
Sementara sastra selalu bersikap terhadap sejarah manusia. Sastra adalah subjektifikasi
kehidupan yang acuannya ialah sebuah keabadian.
Realitas
Aktual dan Realitas Simbolis; Sejarah adalah pengetahuan yang terpotong. Dalam
hal ini, sebuah historiografi sebenarnya tidak mampu memberi pengetahuan
tentang masa lampau secara keseluruhan. Sejarah hanya mencoba menemukan satu
realitas, realitas aktual atau realitas historis. Maka dari itu, sejarah
sebagai potongan realitas aktual membutuhkan sastra sebagai realitas simbolis.
Karena sastra dapat berperan ganda untuk mengungkap realitas historis dan
realitas imajiner.
Kesadaran Historis
Akademis; Untuk
mempertemukan sejarah dan sastra secara akademis, telah diadakan seminar di Yogyakarta
pada tahun 1983. Mengenai tersebut penulis memberi contoh pernyataan M.C.
Ricklefs dalam “Indonesian History and Literature”. Ia berpendapat bahwa
apapun sumber yang dipakai, sejarawan haruslah menerapkan historical
criticism, dapat menggunakan hasil sastra, tetapi tidak mengekor pada
filologi, semiotika, atau metode kritik sastra yang lain. Sejarah dan sastra
adalah dua disiplin terpisah, masing-masing dengan struktur tersendiri. Terlebih
lagi penulis mengutip tiga pendapat dalam Historiografi Indonesia A.
Teeuw mengenai hubungan antara sejarah dan sastra. Pertama, sejarah perlu
memperluas interpretasi dengan memakai kekayaan khazanah sastra, tidak hanya
terpaku pada fakta. Kedua, sejarah dan sastra mempunyai tugas sendiri-sendiri
yang saling melengkapi; sejarah mengungkap gejala “dunia luar” sosial,
sedangkan sastra mengungkap gejala “dunia dalam” individual. Dan ketiga,
sejarah mempunyai pertanyaan dan metodologi sendiri, dan semua sumber (termasuk
sastra) terkena kritik sejarah yang tak bisa ditawar kembali.
Sosial; 1) Mitos
Sejarah; penulis berpendapat bahwa manusia selalu menginginkan adanya sebuah mitos
baru yang positif, rasional, dan historis. Terlebih bagi sejarawan modern yang
memiliki komitmen, sejarah rasional dapat menjadi mitos baru. Dalam hal ini,
penulis memberi contoh buku karya Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan
Historiografi, dengan tema prularitas etnis yang dapat menjadi langkah awal
kearah mitos baru yang historis. 2) Examplary Center; penulisan sejarah yang
emotif juga dapat menjadi mitos rasional. Menanggapi hal demikian, penulis
memberikan contoh seperti penggunaan tema-tema heroisme dan zeroisme sebagai
langkah awal. Metode yang digunakan pun murni sejarah, misal; sejarah lisan.
Hanya saja tema yang dipilih dengan kesengajaan menggunakan tema-tema yang
emotif atau pribadi-pribadi yang dapat menjadi exemplary center. Contoh;
buku epos sejarah oleh Cornelius Ryan, A Bridge Too Far. 3) Novel
Sejarah; novel sejarah adalah sastra yang menggunakan gejala sejarah sebagai
bahan baku (tokoh dan peristiwa sejarah). Hal terpenting untuk dijaga dalam
sebuah novel sejarah ialah local color dan historical truth. 4) Sejarah
dan Sastra Dialektis; sejarah dan sastra harus berani berhadap-hadapan dengan masyarakat
menjadi kritik sosial. Dalam hal ini sastra dan sejarah dapat saling melengkapi
satu sama lain dan menjadi sarana pembentukan masyarakat baru di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar