5 Resep Minuman Segar dan Unik Untuk Sajian Berbuka Puasa

Gambar
Bulan Ramadhan menjadi  momen yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam untuk memperbanyak ibadah .  Adanya kewajiban menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, menjadikan puasa sebagai salah satu aktivitas penting seorang muslim selama Ramadhan nanti. Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan kegiatan lain yang dapat membatalkan puasa dimulai ketika matahari terbit di waktu fajar hingga matahari terbenam.  Menahan  lapar dan dahaga  saat berpuasa  seharusnya tidak lagi menjadi kendala bagi  umat Islam .  Agar tidak bosan menunggu waktu berbuka, coba l akukan aktivitas yang bermanfaat  ketika sedang b erpuasa. M enyiapkan sajian berbuka puasa, misalnya. Ya, meski tidur  dalam keadaan sedang ber puasa itu ibadah,  namun  jangan dijadikannya sebagai   alasan  u ntuk bermalas-malasan . Terlalu banyak tidur justru  tidak baik bagi kesehatan. Untuk itu, luangkanlah waktu me...

Kuntowijoyo; Sastra dan Sejarah Tak Sama Pun Tak Serupa

  


Sejarah sebagai ilmu hidup di tengah dunia realitas, pekerjaannya ialah merekonstruksikan realitas itu. Sastra sebagai seni hidup dalam dunia imajinasi, pekerjaannya ialah mengekpresikan imajinasi. Sejarah dan sastra adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari struktur dan substansinya sebagaimana dikatakan oleh Thomas Clark Pollock dalam The Nature of Literature, Its Relation to Science: Language in Human Experience; karena sejarah adalah referential symbolism, sedangkan sastra evocative symbolism. Sejarah merujuk pada sesuatu di luar dirinya atau referensi, sedangkan sastra merujuk pada dirinya sendiri atau ekspresi.

Mitis

Menurut Cassirer kesadaran mitis adalah sebuah synthetic unity, dan merupakan hasil dari bekerjanya intuisi atau pikiran murni. Berbagai kesan inderawi disintesiskan dalam satu entitas spiritual melalui objektivisasi. Adapun fungsi mitos dalam masyarakat kuno menurut Mircea Eliade beberapa diantaranya ialah melukiskan sejarah dari perilaku-perilaku supranatural dan sejarah dianggap mutlak benar dan bersifat keramat. Dalam hal ini penulis memberikan penjelasan bahwa mitos sering ditujukan sebagai alat pembenar tertib sosial, pengarang mitos bisa saja memiliki maksud politik untuk memperkuat kedudukan patron. Kendati demikian, hanya kerajaan-kerajaan besar seperti Melayu dan Mataram-lah yang dikenal dengan tradisi sastra tulis menciptakan mitos-mitos politik untuk memberikan legitimasi atas hegemoni politiknya. Sebaliknya, fungsi mitos, sejarah, dan sastra dalam masyarakat kesukuan tidaklah bersifat sakral melainkan profane semata. Ketiganya hanyalah refleksi kultural, hiburan, dan sejarah. Hingga dalam perkembangannya, munculnya historiografi modern yang ditandai dengan terbitnya buku Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschowing van de Sadjarah van Banten pada tahun 1913 menandakan bahwa kesadaran mitis (dan historiografi tradisional) pun berakhir.

Perbedaan Struktur

Konstruksi Evidensi dan Strukturasi Kemungkinan; sejarah dan sastra adalah gejala pengalaman kemanusiaan. Dalam merekonstruksi sejarah, interpretasi dan eksplanasi sejarah diharuskan ada supaya sejarah tidak hanyak sekadar narasi, melainkan benar-benar sebuah konstruksi evidensi. Sedangkan sastra yang merupakan strukturasi dari kemungkinan, kemudian oleh sastrawan ditambahkan dengan tema, karakter, konflik, dan resolusi konflik itu sendiri. Maka dari itu, dalam sejarah pengalaman itu sepenuhnya kenyataan konkret sementara dalam sastra pengalaman itu sebagian besar berupa kemungkinan-kemungkinan.

Informasi dan Ekspresi; penulis memberikan penjelasan terhadap sebuah realitas, yang mana pada mulanya realitas itu berserakan dan tidak teratur. Kemudian dikarenakan orang memerlukan informasi utuh mengenai realitas agar mudah dipahami, maka ilmu pun hadir untuk memberi tatanan realitas sesuai dengan perspektifnya. Dalam hal ini, sejarah adalah ilmu sementara sastra adalah ekspresi.

Fakta dan Imajinasi; dalam sejarah fakta memiliki kedudukan yang penting, namun seorang sejarawan tidak boleh menganggap sebuah fakta sebagai unggulan sejarah. Dalam hal ini penulis mengutip buku karya M. Stanford yang mana dijelaskan bahwa terdapat sembilan cara yang harus dilalui supaya fakta menjadi sebuah tulisan sejarah. Namun setidaknya ada dua cara yakni interpretative (menulis sejarah bukan “apa yang terjadi” tapi “apa yang mungkin terjadi”) dan empathetic (menulis sejarah dengan rasa empati). Sementara sastra adalah imajinasi kreatif pengarangnya tentang suatu realitas, dan bukan realitas yang aktual.

Menjelaskan dan Mengadili; tugas sejarah adalah memberi penjelasan bukan mengadili. Seorang sejarawan tidak boleh berpihak, melainkan harus membiarkan gejala sejarah “bicara” sendiri. Dalam hal ini terdapat dua aliran tentang penjelasan sejarah, yakni positivisme (menerangkan) dan hermeneutik (memahami dan mengerti). Sementara sastra memang lahir untuk suatu nilai, kesadaran, dan kebenaran. Sastra sebagai “constructed language” harus mengadili gejala-gejala sejarah yang merusak kemanusiaan dan eksistensinya dan tidak dapat di selesaikan oleh ilmu.

Perbedaan Substansi

Objektifikasi dan Subjektifikasi; sejarah memahami manusia melalui perenungan abstrak atau imajinasi. Sejarawan bekerja dengan fakta-fakta objektif yang “given” dan berada diluar dirinya. Manusia melakukan objektifikasi dirinya ke dalam sejarah, dan sejarawan mempelajari gejala-gejala objektif tersebut.  Sedangkan sastra tidak berhubungan dengan fakta-fakta objektif yang berada di luar dirinya, tetapi dengan nilai-nilai subjektif yang ada dalam dirinya. Seorang sastrawan memberi makna subjektif pada kehidupan, dan manusia mempunyai sarana untuk merenungkan hidupnya.

Kesadaran Perubahan dan Kesadaran Keabadian; perubahan sosial-budaya yang kita inginkan ialah penyebaran rasionalitas. Meminjam konsep Max Weber, penulis menjelaskan bahwa masyarakat tradisional dan karismatis akan digantikan oleh masyarakat legal-rasional. Artinya, kita memerlukan perubahan. Perubahan adalah sebuah proses dan sejarah adalah tempat baik untuk belajar perubahan tersebut. Sementara sastra selalu bersikap terhadap sejarah manusia. Sastra adalah subjektifikasi kehidupan yang acuannya ialah sebuah keabadian. 

Realitas Aktual dan Realitas Simbolis; Sejarah adalah pengetahuan yang terpotong. Dalam hal ini, sebuah historiografi sebenarnya tidak mampu memberi pengetahuan tentang masa lampau secara keseluruhan. Sejarah hanya mencoba menemukan satu realitas, realitas aktual atau realitas historis. Maka dari itu, sejarah sebagai potongan realitas aktual membutuhkan sastra sebagai realitas simbolis. Karena sastra dapat berperan ganda untuk mengungkap realitas historis dan realitas imajiner.

Kesadaran Historis

Akademis; Untuk mempertemukan sejarah dan sastra secara akademis, telah diadakan seminar di Yogyakarta pada tahun 1983. Mengenai tersebut penulis memberi contoh pernyataan M.C. Ricklefs dalam “Indonesian History and Literature”. Ia berpendapat bahwa apapun sumber yang dipakai, sejarawan haruslah menerapkan historical criticism, dapat menggunakan hasil sastra, tetapi tidak mengekor pada filologi, semiotika, atau metode kritik sastra yang lain. Sejarah dan sastra adalah dua disiplin terpisah, masing-masing dengan struktur tersendiri. Terlebih lagi penulis mengutip tiga pendapat dalam Historiografi Indonesia A. Teeuw mengenai hubungan antara sejarah dan sastra. Pertama, sejarah perlu memperluas interpretasi dengan memakai kekayaan khazanah sastra, tidak hanya terpaku pada fakta. Kedua, sejarah dan sastra mempunyai tugas sendiri-sendiri yang saling melengkapi; sejarah mengungkap gejala “dunia luar” sosial, sedangkan sastra mengungkap gejala “dunia dalam” individual. Dan ketiga, sejarah mempunyai pertanyaan dan metodologi sendiri, dan semua sumber (termasuk sastra) terkena kritik sejarah yang tak bisa ditawar kembali.

Sosial; 1) Mitos Sejarah; penulis berpendapat bahwa manusia selalu menginginkan adanya sebuah mitos baru yang positif, rasional, dan historis. Terlebih bagi sejarawan modern yang memiliki komitmen, sejarah rasional dapat menjadi mitos baru. Dalam hal ini, penulis memberi contoh buku karya Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, dengan tema prularitas etnis yang dapat menjadi langkah awal kearah mitos baru yang historis. 2) Examplary Center; penulisan sejarah yang emotif juga dapat menjadi mitos rasional. Menanggapi hal demikian, penulis memberikan contoh seperti penggunaan tema-tema heroisme dan zeroisme sebagai langkah awal. Metode yang digunakan pun murni sejarah, misal; sejarah lisan. Hanya saja tema yang dipilih dengan kesengajaan menggunakan tema-tema yang emotif atau pribadi-pribadi yang dapat menjadi exemplary center. Contoh; buku epos sejarah oleh Cornelius Ryan, A Bridge Too Far. 3) Novel Sejarah; novel sejarah adalah sastra yang menggunakan gejala sejarah sebagai bahan baku (tokoh dan peristiwa sejarah). Hal terpenting untuk dijaga dalam sebuah novel sejarah ialah local color dan historical truth. 4) Sejarah dan Sastra Dialektis; sejarah dan sastra harus berani berhadap-hadapan dengan masyarakat menjadi kritik sosial. Dalam hal ini sastra dan sejarah dapat saling melengkapi satu sama lain dan menjadi sarana pembentukan masyarakat baru di Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Studi Sejarah; Dari Mulai Boom Beach Tuban Hingga Masjid Terkenal di Jawa Timur