5 Resep Minuman Segar dan Unik Untuk Sajian Berbuka Puasa
Islam dan Sastra Sunda:
Artikulasi
Sastra Sufistik Sunda dalam Tradisi Islam Nusantara
“Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia” merupakan
salah satu buku terbitan Direktorat sejarah dan nilai budaya, Direktorat
jenderal kebudayaan, serta Kementrian pendidikan dan kebudayaan yang memuat
beberapa penjelasan mengenai peristiwa masa lampau. Pada buku karya Abdul Hadi
WM, dkk. ini, terdapat materi Islam dan Sastra Sunda: Artikulasi sastra
sufistik dalam tradisi Islam Nusantara. Dalam materi ini penulis ingin mengulas
terkait tema umum tentang pengaruh Islam terhadap sastra Sunda. Ia akan lebih
memfokuskan pada gambaran umum penyesuaian sastra Sunda dengan kepercayaan
Islam, hubungan jaringan tradisi Islam Nusantara dengan perkembangan sastra
sufistik Sunda dan jejak sastra Islam Nusantara dalam sastra Sunda seperti
tercermin dalam karya Haji Hasan Mustapa. Lebih lanjut, dalam pembahasan
penulis memfokuskan pada sosok Mustapa, seorang sastrawan Sunda terbesar
penerus tradisi Islam Nusantara dengan berbagai puisi dangding sufistik Sunda.
Ia menandai puncak pengaruh mistisme Islam ke dalam sastra Sunda juga secara
meyakinkan memberikan contoh sebuah karakter Sunda, pasca polemik seputar
eksistensi sastra di kalangan orang Sunda pada paruh akhir abad ke-19 antara
sarjana kolonial yang cenderung menafikannya dengan Memed Sastrahadiprawira
(1897-1932) yang berusaha membuktikannya.
Selanjutnya
terkait pengaruh Islam dalam sastra Sunda. Pada paruh
akhir abad ke-19, para sarjana Eropa umumnya menolak kehadiran sastra Sunda. Hal
ini dikarenakan banyak yang berpendapat bahwa Sunda hanyalah tiruan puisi Jawa,
kurang orisinal, dan memperlihatkan pengaruh Islam yang begitu kental. Hampir
setengah abad kemudian, Memed Sastrahadiprawira, seorang sastrawan dan
intelektual Sunda, mencoba menyangkalnya. Ia berpendapat bahwa penilaian
tersebut menunjukkan ketidakmemadaian pengetahuan sehingga tidak mampu
mengapresiasi keindahan sastra Sunda. Lebih lanjut, karena persoalan
keterpengaruhan kiranya menjadi salah satu alasan yang menghalangi pandangan
sarjana kolonial dalam menilai ada tidaknya literatur dalam tulisan Sunda. Kemudian
berkaitan dengan ini tak dapat dipungkiri Islam dan pesantren memiliki peran
besar dalam membentuk budaya dan sastra Sunda. Ia tercermin dalam beragam
kepustakaan sastra Sunda. Dari mulai cerita pantun yang dianggap sebagai sastra
lisan warisan leluhur orang Sunda, mantra, hingga adanya pengaruh Islam pada
tradisi Sunda seperti adat nyawer, nadoman atau puji-pujian, saduran cerita, legenda
dan syair dari bahasa Jawa atau Melayu ke bahasa Sunda. Kemudian tak berhenti
disitu, pada era kolonialisme, sastra dan budaya Eropa mulai berpengaruh
terhadap kehidupan sastra Sunda. Saat itu, Belanda mulai memperkenalkan aksara
Latin dalam skala luas yang lambat laun semakin menggeser aksara pegon dan
Jawa. Kendati demikian, seiring dengan perkembangan zaman, Islam di Nusantara
memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sastra Sunda. Tidak hanya melakukan berbagai
perubahan dan penyesuaian secara bahasa dan tema, melainkan juga mempengaruhi tumbuhnya
bentuk sastra Islam Sunda yang semula berasal dari khasanah sastra Islam.
Selanjutnya, terkait jaringan Islam Nusantara dan sastra sufistik
Sunda. Sudah lebih dari satu dasawarsa yang lalu, tesis jaringan intelektual
Islam Nusantara yang terhubung dengan Islam Timur Tengah diterima di kalangan sarjana.
Walaupun demikian, gambaran umum jaringan intelektual tersebut belum sepenuhnya
menggambarkan apa yang diakui Azra sendiri sebagai proses yang sangat kompleks.
Bukan saja saling silang antara tradisi keilmuan dengan afiliasi tarekat di
dalam jaringan tersebut, melainkan praktik lokalitas sebagai hasil interpretasi
intelektual sesuai dengan pluralitas latar sosial dan budayanya. Berkaitan
dengan ini dalam tradisi sastra Sunda, sastra sufistik Sunda berkembang setelah
masuknya pengaruh Islam di tatar Sunda pasca jatuhnya Kerajaan Sunda pada 1579.
Islamisasi melalui jalur Cirebon dan Banten yang didukung Jawa-Mataram berdampak
pada masuknya pengaruh budaya Jawa terhadap tradisi sastra Sunda. Karenanya
bisa dipahami bila sastra Sunda tradisional berbentuk dangding atau guguritan
dan juga cerita berupa wawacan, awal mulanya merupakan karya sastra Kitab
Martabat Tujuh yang ditulis oleh Shaykh Abdul Muhyi. Lebih lanjut, pada umumnya
sastra Sunda tradisional seperti dangding banyak dikembangkan oleh kalangan menak
Sunda. Namun dari sekian banyak menak Sunda yang menulis dangding, kiranya
hanya Mustapa yang sangat kental dengan tradisi sastra sufistik Sunda. Ia
menulis lebih dari 10.000 bait puisi sufistik, dan hampir semuanya dibuat
dengan bahasa Sunda beraksara pegon.
Komentar
Posting Komentar