5 Resep Minuman Segar dan Unik Untuk Sajian Berbuka Puasa
·
Pada hari Jumat, 19 Maret 2021 Historia,id mengadakan sebuah
dialog sejarah antar beberapa narasumber untuk mengetahui bagaimana wajah kolonialisme
di tampilkan didalam karya sastra. Dalam dialog tersebut, Bonnie Triyana selaku
pimred Historia.id dan moderator mengatakan bahwa salah satu
sejarawan yang menulis sastra dan terkenal ialah Kuntowijoyo. Ia pun
berpendapat bahwa seorang sejarawan seringkali mengambarkan masa lalu
menggunakan arsip-arsip yang ada. Hal inilah yang kemudian membuat hasil
tulisan tersebut terlihat garing karena tidak adanya spirit,
dan jiwa penulis di dalamnya. Terlebih lagi seorang sejarawan dan sastrawan
teramat beda. Karya dari seorang sejarawan umumnya monoton dan tidak berani
masuk ke perasaan. Sementara karya dari seorang sastrawan terlihat jauh lebih
menarik karena di dalam sastra ada keleluasaan untuk menggambarkan hal itu.
1. Bagi
seorang sejarawan tidak ada salahnya untuk menyelami jiwa zaman, spirit,
dan sebuah era bagaimana manusia dahulu bertarung, berperang, kalah, menang
dengan cara membaca novel karya-karya sastra yang terbit pada masa itu atau
karya sastra mengenai masa itu.
2. Ada
beberapa poin yang menggambarkan tentang situasi pada masa kolonial di Hindia
Belanda. Pertama, adanya pembagian atau pengelompokan orang berdasarkan rasnya;
kedua, adanya diskriminasi golongan; ketiga, adanya pengisapan atau eksploitasi
terhadap beberapa sektor yang dapat menguntungkan pihak Belanda; dan keempat,
ialah terbentuknya satu masyarakat Indis-Belanda yang mana ada orang yang tetap
tinggal dan ada yang hanya bekerja kemudian balik ke Belanda.
3. Iksaka
Banu salah satu narasumber dalam dialog tersebut berpendapat bahwa untuk
mengetahui dan menghadirkan suasana zaman kolonial dalam cerita dan karyanya
ialah dengan cara membaca buku-buku Hindia zaman dahulu atau prosa perjalanan,
juga dilengkapi dengan membaca novel yang diterbitkan atau ditulis oleh penulis
pada masa itu. Selain itu, cara untuk dapat menampilkan wajah kolonialisme
dalam sastra atau fiksi sejarah dapat dilakukan dengan cara; dramatisasi yakni
melebih-lebihkan cerita. Juga cara penggunaan latar yang ada, kejadian yang
pernah terjadi namun menambahkan tokoh-tokoh fiktif di dalamnya.
4. Widjajanti
D. seorang peneliti imagologi, menerangkan bahwa ada beberapa penulis prosa
naratif Indis-Belanda tahun 1880-1950 diantaranya sebagai berikut; Boeka; Orang
Indo dan Cina di Kebun Kopi pada tahun 1901; Justus Van Maurik; Indrukken Van
Een ‘totok’ pada tahun 1897; M.T.H Perelaer; Perdagangan Opium pada tahun 1886;
dan W. Van Rees; Perang Memusnahkan Kongsi Pendulang Emas di Kalbar pada tahun
1881.
5. Salah
satu karya sastra zaman dahulu yang di tulis oleh Delilah menggambarkan wajah
kolonialisme mengenai betapa kejamnya para pekebun Eropa. Delilah memiliki
suami yang bekerja di Perkebunan Tembakau. Hal inilah yang membuatnya dapat
menceritakan kejadian apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Dalam
ceritanya, kekejaman para pekebun Eropa terhadap bawahannya tidak hanya
dilakukan oleh orang Belanda melainkan juga orang Swiss hingga Jerman. Sebagai
seorang atasan, para pekebun melakukan tindak kekerasan kepada kaum kuli yang
tidak giat bekerja. Mereka di pukul hingga meninggal dan kemudian dikubur di
tengah hutan. Dalam novel ini pula hierarkinya bukan di dasarkan pada
diskrimasi etnis melainkan diskriminasi ras. Makin putih maka makin tinggi
statusnya dan makin gelap maka makin rendah pula statusnya. Diskriminasi
tersebut harus dilakukan sebagai alat untuk melindungi pimpinan asing terhadap
kaum kuli terutama Cina yang bisa saja mengancam keselamatan mereka ketika
sedang mengamuk.
6. Joss
Wibisono seorang penulis cerita juga salah satu narasumber dalam dialog
tersebut berpendapat bahwa, perbedaan sejarah sebagai non fiksi dan sejarah
sebagai Fiksi adalah dalam fiksi (sejarah tidak harus urut kronologinya namun
yang terpenting ialah bagaimana kita bisa merasakan suasana atau kondisi masa
itu).
7. Sejarah
dalam karya sastra harus bisa menjelaskan bagaimana kondisi Indonesia dan
Belanda yang sebenarnya. Sebab kebanyakan karya sastra Belanda menulis tentang
keadaan orang-orang Belanda itu sendiri waktu Hindia Belanda dan bukan penjelasan
mengenai bagaimana keadaan orang Indonesia itu sendiri.
8. Memahami
peristiwa pada masa lalu (khususnya kolonialisme) akan lebih luwes atau leluasa
jika diceritakan dalam bentuk sastra. Hal ini dikarenakan dalam sastra tidak
adanya metode penelitian khusus seperti dalam penelitian sejarah (menceritakan
peristiwa masa lampau).
Komentar
Posting Komentar